Melihat Budaya Karo Dari Lembar Kayu Lak-lak
Pustaka Lak Lak ditulis pada lembaran kayu ulim yang panjang berlipat-lipat dengan tinta mangsi
Melihat perjalanan peradaban masyarakat Suku Karo dan ragam kebudayaannya dari beberapa lembar kulit kayu bukanlah hal yang mudah. Apalagi tidak banyak orang yang paham dan mengerti membaca aksara khas Karo. Padahal di dalamnya, banyak warisan budaya dan pengetahuan yang tertulis rapi dengan warna hitam yang diperoleh dari getah kayu yang digoreskan dengan pena yang terbuat dari bambu. Naskah kuno yang disebut Pustaka Lak Lak ini ditulis pada lembaran kayu ulim yang panjang berlipat-lipat dengan tinta mangsi yaitu hasil tampungan asap dari pembakaran kayu jeruk purut dengan pena bulu ayam, atau campuran bahan getah sona, air tebu, dawat, air getah, bunga sapa, air jahe, merica serta minyak.
Tidak banyak literatur-literatur kuno yang dapat mendukung kapan tulisen, istilah aksara Karo, itu mulai dipergunakan secara luas di wilayah Karo. Namun bagi mereka yang mengerti, di dalamnya terlihat jelas beberapa syair cinta, ramalan (katika), turi-turin (cerita), mangmang/tabas (mantra), kitab ketabiban, ratapan atau rintihan (bilang-bilang), kitab mayan (beladiri), ndung-ndungen (sejenis pantun), bilang-bilang (puisi), dan ramuan obat-obatan serta seni menyusun tanggal baik pernikahan.
Namun di salah satu sudut Museum Pusaka Karo, Berastagi, ditampilkan dua jenis manuskrip khas Karo yang ditulis dalam lak-lak (kulit kayu). Kayunya terbuat dari lembaran-lembaran kayu alim (aquilaria malaccensis)) yang berlipat-lipat sepanjang beberapa meter. Warnanya sudah kuning kecoklatan, namun tulisan yang digurah dengan getah kayu masih nampak tajam ketika disinari cahaya di dalam boks kaca bening.
Direktur Museum Pusaka Karo, Valentinus Ginting, mengakui bukan hal yang mudah memperoleh lak-lak ini. Selain usianya ada yang sudah berumur sekitar 400 tahun, tak jarang juga ada masyarakat yang berfikir bahwa itu adalah benda peninggalan biasa yang tidak memiliki arti. Padahal di dalamnya tergambar jelas nilai-nilai kehidupan leluhur Suku Karo.
Ironisnya lagi, banyak masyarakat Karo saat ini yang bahkan tidak mengetahui kalau naskah kuno ini pernah ada. Bahkan ketika melihat ukiran di rumah adat Karo, seperti Siwaluh Jabu, kebanyakan menganggap itu hanya ukiran hias belaka. Padahal setiap tulisan memiliki makna sendiri.
“Banyak masyarakat Karo yang bahkan tak mengetahui keberadaan benda ini menjadi bagian dari sejarah Suku Karo. Sebagian menganggap ini hanyalah benda milik kakek-nenek mereka jaman dulu. Padahal di dalamnya berisikan warisan yang sangat berharga,” katanya sembari memperlihatkan lembaran kayu usang lak-lak yang cukup tua itu. Di sudut-sudut lembarannya bahkan sudah mulai terkelupas.
Budaya tulisen ini tidak hanya digoreskan di lembar kayu alim saja. Di Karo dulunya sering ditemui tulisan pada bilah bambu ataupun batu. Khususnya kaum muda yang menuliskan rintihan atau ratapan hidupnya khususnya yang berkaitan dengan asmara. Inilah yang populer dengan sebutan bilang-bilang (ratapan pada kulit bambu). Bukan itu saja, di Karo juga sangat populer surat bahasa lokalnya disebut dengan musuh berngi (musuh malam/musuh dalam kegelapan) yang berisikan ancaman dan tantangan.
Selain dua buah lak lak, ada seratusan peninggalan masyarakat Karo lainnya yang ditempatkan di museum yang dulunya merupakan bangunan gereja Katholik di Berastagi ini. Hampir semua barang bersejarah itu diletakkan dalam boks kaca bening dengan cahaya tidak terlalu terang alias redup. Mungkin untuk menjaga suhu agar benda-benda berusia ratusan tahun tidak mudah rusak atau lapuk.
Tepat diatas lak-lak, diletakkan pula perhiasan perempuan Karo jaman dulu yang bernama padung-padung. Anting-anting yang terbuat dari perak dan terkadang emas ini panjangnya berkisar 15,5 cm dan beratnya berkisar 2 kilogram. Namun karena disangkutkan juga ke tudung atau kain penutup kepala, maka beban telinga jadi berkurang. Ukurannya ditentukan oleh si penggunanya, kalau masih gadis remaja ukuran antingnya masih kecil. Namun untuk gadis dewasa, biasanya menggunakan ukuran 2 kilogram.
Ada yang unik dengan kisah ditemukannya padung-padung ini. Dulunya, pihak museum Belanda mengirimkan padung-padung ini ke museum Kabupaten Nias karena menyangka ini adalah milik Suku Nias. Namun belakangan pihak Museum Nias menolaknya dan mengatakan kepada Museum Belanda kalau padung-padung itu seperti kepunyaan masyarakat Karo.
“Perjalanan padung-padung ini sungguh panjang. Malah sempat dikirimkan ke museum di Nias karena disangka kepunyaan masyarakat sana. Akhirnya mereka menyadari kalau itu kepunyaan kita (Karo). Lalu dikirim lagi kemari. Akhirnya kita punya satu set anting khas Karo,” pungkas Valentinus. (ers/tribun-medan.com)
Penulis : Eris Estrada
Editor : Muhammad Tazli
0 comments:
Post a Comment