Ditanah
Pak-Pak dahulu kala ada seorang raja yang terkenal bertempat tinggal
di kampung Linggaraja, yang mempunyai beberapa orang putera dan seorang
puteri. Pada suatu hari raja itu sakit keras, dan walaupun sudah
beberapa orang dukun mencoba mengobatinya, penyakitnya tidak berkurang
malahan semakin parah, sehingga kaum kerabat dan rakyatnya amatlah
bersusah hati. Pada suatu ketika, singgahlah di kampung Linggaraja
serombongan dukun (Guru Pakpak pitu sedalananen, namanya "Erciken
tungkatna malaikat" dan "Erpustakaken pustaka najati"), kepada 7 orang
dukun Pakpak ini dimintailah pertolongan untuk mengobati raja itu.
Sesudah dukun itu membaca-baca
pustakanya dan melihat nujumnya, maka berkatalah ia kepada permaisuri
(kemberahen), agar raja itu dapat sembuh, hendaklah dibuat "persilihi
raja", persilihi bukan sembarang persilihi, tetapi dengan membuang harta
yang paling disayangi oleh raja itu bersama permaisurinya. Sudah tentu
permaisuri dan kaum kerabat sekalian sangat bersuka cita mendengar
itu,dan sekejap itu juga terus memperlihatkan semua harta-harta yang
disayanginya, tetapi tiap kali diperlihatkan satu macam harta, ke-7
orang dukun itu tetap saja menggelengkan kepalanya, tanda bukan itu yang
dimaksudkannya. Sudah habis semua harta-harta diperlihatkannya, tetapi
dukun tetap juga menggelengkan kepalanya, sehingga akhirnya sadarlah
permaisuri bahwa yang dimaksud oleh dukun bukanlah harta duniawi, tetapi
salah seorang puteranya, dukun tidak sampai hati menerangkan demikian.
Permaisuri
memanggil dan bermusyawarah dengan putera-puterinya tentang hal itu,
dan putera-puterinya berkata bahwa mereka tidak berkecil hati dan tidak
akan menolak kalau salah seorang diantara mereka dijadikan "persilihi"
supaya ayahnya dapat sembuh. Sesudah itu maka ditetapkanlah oleh dukun
hari yang baik untuk melangsungkan pekerjaan "persilihi",dan dipotonglah
kerbau dan diundanglah seluruh kaum keluarga. Maka diterangkanlah oleh
permaisuri dan raja bahwa anaknya yang paling disayanginya adalah
puteranya yang bungsu, maka dijalankanlah acara persilihi, ia diberi
makan diatas daun ujung pisang yang sudah dibubuhi makanan-makanan
persilihi, yakni pisang, bunga-bunga, cimpa embun-embunen (sejenis
kue-kue) dan sewaktu mau pergi meninggalkan kampung halaman, raja
memberi petuah kepada anaknya yang bungsu itu agar membawa tanah dari
daerah tersebut segenggam dan air setabu, apabila kelak hendak memilih
tempat tinggal, hendaklah tanah dan air disitu dibandingkan dengan tanah
dan air yang dibawa, moga-moga Tuhan akan memberkati, sampai
keturunannya sebanyak bintang dilangit.
Maka
berjalanlah si anak bungsu tadi dengan membawa air dan tanah
sebagaimana yang dikatakan ayahnya dan mengambil jalan kearah "cibal
tekang" (dari Selatan ke Utara). Benarlah apa yang dikatakan para nujum,
sesudah anaknya pergi 3-4 hari lamanya, maka penyakit raja itupun
berangsur-angsur hilang. Dalam pada itu puteri raja kembali mengingatkan
saudaranya yang paling tua, supaya mencoba menyusul adiknya yang
bungsu. Putera yang paling tua segera menyusul dengan menggunakan kuda
milik ayahnya dan memacu kearah perginya sang adik bungsu. Setelah
beberapa hari dalam perjalanan dia belum juga menjumpai adiknya,
akhirnya disuruhnya kuda itu untuk bersuara sekuat-kuatnya berkali-kali
supaya terdengar oleh adiknya seandainya dia berada disekitar
itu. Kebetulan adik bungsunya tidak jauh dari tempat itu, dan ia
mendengar suara kuda ayahnya. Iapun segera mendatangi tempat suara itu
dan bertemu dengan saudaranya yang paling tua. Abangnya mengusulkan agar
bersama-sama mengembara, tapi si bungsu menolak dengan alasan dia lebih
suka mengembara seorang diri supaya ayahnya tetap sembuh.
Akhirnya
diputuskan bahwa mereka mengembara sendiri-sendiri karena saudaranya
yang tertuapun sudah berjanji dalam hatinya tidak akan kembali kekampung
halamannya.
Sesudah bersalaman, si bungsu
melanjutkan perjalanan ke arah utara dan saudaranya ke arah barat.
Akhirnya si bungsu tibalah disuatu tempat yang dinamai Kuta Suah
dilembah Uruk Gungmbelin dekat kampung Lingga sekarang, disitu dia
mendirikan rumah dan menikah, dan dikaruniai 3 anak laki-laki yang
bernama Tembe, Cibu dan Serukati dan 1 anak perempuan yang bernama
Tambar Malem. Suatu hari mereka menemukan tempat yang bagus dan airnya
baik di tempat yang sekarang disebut kampung Lingga, akhirnya mereka
memutuskan untuk pindah ketempat yang bagus itu, namun Cibu dan Serukati
memohon kepada orang tuanya untuk dapat tinggal di tempat yang mereka
pilih sendiri, jadi yang tinggal di Lingga hanya kedua orangtuanya,
Tembe dan Tambar Malem, dan menamai kampung itu "Lingga" sebagaimana
kampung si anak bungsu yang pergi merantau yaitu "Lingga Raja". Adapun
si Cibu pergi kearah Selatan dan menemukan tanah yang baik dan diberi
nama kampung Kacaribu sedangkan Serukati ke arah Utara dan mendirikan
kampung Surbakti. Akhirnya masing-masing kampung itu menjadi ramai
karena keturunan masing-masing.
Kembali kepada kisah anak yang
sulung, sesudah dia bersalaman dengan adiknya yang bungsu, diapun tidak
kembali ke Linggaraja melainkan juga mengembara dengan menunggang
kudanya mengambil jalan kearah sebelah barat dengan mengikuti barisan
bukit (sekarang dinamai Uruk Tapak Kuda), karena bekas tapak
kudanya. Sesudah beberapa hari perjalanan maka sampailah ia di Nodi
(diperbatasan Tanah Karo dengan Tanah Alas) dan disana dia mendirikan
rumah dan menikah. Dari perkawinannya lahir 3 orang putera.
Pada suatu hari kampung itu ditimpa
oleh bencana banjir karena menurut kepercayaan ada seorang yang memotong
binatang yang dianggap suci, karena musibah itu maka ia menyuruh ke
tiga puteranya untuk mengungsi sedangkan ia dan istrinya tetap tinggal
di kampung itu karena sudah merasa tua. Ketiga puteranya pergi kearah
Barat dan tiba di tanah Gayo (Aceh).
Di tanah Gayo penduduk sudah
beragama Islam dan ketiga orang itu kalau mau tinggal di situ harus
masuk Islam dan disunat. Putera yang tua dan yang tengah akhirnya
disunat dan masuk Islam, namun anak ketiga tidak dapat disunat karena
dia memiliki kekebalan terhadap benda tajam, oleh karena itu si bungsu
pergi meninggalkan kampung tersebut dan pergi kearah Timur dan tibalah
di kampung Perbesi, disana dia bercerita bahwa dia adalah keturunan dari
Linggaraja dan oleh orang-orang di kampung Perbesi di ceritakan bahwa
ada kampung di dekat situ yang bernama Lingga dan kebanyakan adalah
keturunan dari Linggaraja juga, akhirnya si bungsu berjalan ke desa
Lingga dan menginap di rumah (kesain) Silebe Merdang di bagian rumah
Ulujandi.
Si bungsu langsung menarik perhatian
khalayak karena kepandaiannya untuk menyelesaikan perselisihan
dikampung Lingga sehingga dia akhirnya diangkat sebagai bapak
(perbapaan), dan diketahui oleh orang sekampung itu bahwa mereka
memiliki asal-usul yang sama yaitu dari Linggaraja. Sebagai penghormatan
kepadanya maka ia dikawinkan dengan seorang wanita dari kampung
Surbakti, beru Ginting Suka rumah Page, juga dikawinkan dengan beru
Sebayang dari kampung Perbesi serta juga beru Tarigan Girsang dari Si
bungsu inilah yang memerintah dikesain rumah Jahe kampung Lingga, jadi
perbapaan di kesain rumah Jahe dan Urung Telu Kuru. Namanya menjadi
Raja.
Pada
suatu waktu datanglah Raja Aceh bersama beberapa orang pengiringnya dan
berkemah di Lau Bahun (diantara kampung Lingga dan Surbakti). Raja Aceh
memanggil semua Raja di tanah Karo dan akan menetapkan siapa yang jadi
kepala ditiap-tiap daerah di Tanah Karo. Untuk menentukannya Raja Aceh
memakai cara yang dianggap adil yaitu dengan cara para raja itu harus
menunggangi seekor kerbau yang dinamai "kerbau sinangga lutu", barang
siapa dapat menunggangi kerbau itu sampai kerbau itu merasa berat,
sampai merendahkan badannya ataupun ngenat maka orang itulah yang
diangkat menjadi raja. Akhirnya semua raja-raja dari Lingga, Surbakti,
Kacaribu, Beganding, Berasitepu, Naman disuruh untuk menaiki kerbau
sampai akhirnya si Raja dari Lingga (yang lahir di Nodi dan datang dari
Gayolah) yang dapat membuat kerbau itu merasa berat, sehingga iapun
ditetapkan menjadi Raja yang terbesar dan diberikan sebuah "Pisau
Bawar", hal ini juga dilakukan Raja Aceh terhadap kerajaan Barus Jahe,
Suka dan Sarinembah, dan ditambah kerajaan Lingga menjadi "Raja
Berempat" dan Raja Lingga itu ketika meninggal dikuburkan di uruk
"Gungmbelin" (sebuah bukit dekat Kampung Lingga).
Kerajaan lalu diperintah oleh 3 putera tertuanya dari masing-masing permaisuri yaitu:
NAMA
|
ANAK DARI
|
Ganci Raja
|
Beru Ginting Rumah page
|
Katasenina
|
Beru Sebayang Perbesi
|
Pa Timbang Raja
|
Br Tarigan Simalungun
|
Adapun pergantian pergantian selanjutnya sebagai berikut:
Ganci Raja
|
Katasenina
|
Pa Timbang Raja
|
Keterangan
|
Mariam
|
Rajakin
| Timbang Raja | |
Tempas Raja
| Gunung | Gunung anak dari Hat saudara Rajakin | |
Paras
| Laksa | Antuk | Paras anak dari Betul, saudara tua Tempasraja |
Rasingal
| Pa Terang | Labas | Rasingal, anak dari Tempasraja |
Rasibngal
| Pa Terang | Lambas berhenti tahun 1904 |
Kira kira tahun 1905 Belanda masuk ke tanah Karo dan keduanya Rasingal dan Pa Terang diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda jadi raja dari Kerajaan Lingga dan daerah taklukannya. Keduanya mengikat perjanjian pendek dengan Belanda pada Desember 1907. Pada tahun 1921 pa Terang wafat sehingga Rasingal (Pa Sendi) ditetapkan sendirian menjadi Raja, dan Rajanta anak dari Pa Terang ditetapkan menjadi perbapaan Urung Telu Kuru 28 Juli 1934, Rasingal wafat dan digantikan oleh puteranya Raja Kelelong dan mengikat perjanjian pendek dengan Belanda pada tanggal 25 Juli 1935. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan menjadi Republik maka semua Kerajaan lebur dan Raja Kelelong diangkat sebagai Bupati di Tanah Karo namun tidak memiliki kerajaan lagi, ia meninggal tanggal 21 Januari 1963 dan dimakamkan di "Uruk Nggungmbelin" tempat makam raja-raja Kerajaan Lingga, sisa kerajaan akhirnya dibakar oleh rakyat yang mengganggap bangunan kerajaan adalah sisa dari feodalisme Belanda ini terjadi pada Agresi Belanda II.
Keturunan dari Raja Kelelong sebagai berikut:
Kemberahen br Singarimbun Tiga Nderket
|
Kemberahen br Tarigan Bukum
|
Hadwing
|
Raja ngikut
|
Raja Nangih
|
Raja Nambah
|
Anni
|
Rosenna
|
Raja Ndemi
|
Raja Nangkih Sinulingga merupakan putera tertua Raja Kelelong yang lahir
di Kabanjahe 10 November 1931, beliau ikut dalam pengungsian ke
berbagai tempat semasa Agresi Belanda, ikut dengan bibinya (Lemet S br
Sinulingga, istri dari T.Madja Purba) di Pematang Siantar lalu
melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarata, pindah ke
Universitas Indonesia Jakarta dan lulus menjadi Notaris, dan bekerja di
Madiun 1969 - 1989, pindah ke Jakarta dan pensiun tanggal 10 November
1996, menikah tahun 1961 dengan Roffyana Tetap Sembiring dari Beganding
dan dikaruniai 3 anak laki-laki dan seorang perempuan yaitu:Isfridus
Josef Radja Nemani Sinulingga (author), Chrysologus Radja Nampeken
Sinulingga, Francisca Carolyne Sinulingga dan Michael Raja Nehken
Sinulingga.
Roffyana Tetap Sembiring meninggal dunia di Jakarta tanggal 11 Desember 1998, karena sakit kanker, dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Raja Nangkih Sinulingga meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 23 Januari 2000, sesaat setelah menyerahkan buku pedoman silsilah keluarga SINULINGGA, kepada perkumpulan 'SINULINGGA MERGANA SI LIMA INDUNG RAS ANAK BERUNA SE JABOTABEK',yang telah disusunnya selama 6 tahun. Beliau dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.(sumber : sibayaklinga.com,KITLV,Tropenmuseum)
Roffyana Tetap Sembiring meninggal dunia di Jakarta tanggal 11 Desember 1998, karena sakit kanker, dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Raja Nangkih Sinulingga meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 23 Januari 2000, sesaat setelah menyerahkan buku pedoman silsilah keluarga SINULINGGA, kepada perkumpulan 'SINULINGGA MERGANA SI LIMA INDUNG RAS ANAK BERUNA SE JABOTABEK',yang telah disusunnya selama 6 tahun. Beliau dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.(sumber : sibayaklinga.com,KITLV,Tropenmuseum)
0 comments:
Post a Comment