Sebagai masyarakat yang telah menetap, tentu saja, masyarakat Karo juga telah menghasilkan karya-karya sebagai apresiasi jiwa seninya. Hal ini tentu tampak dari hasil karya seninya. Beberapa karya seni yang berkembang dalam masyarakat Karo adalah Seni suara, Seni gerak, Seni tenun, Seni bangunan, dan Seni sastra.
Berikut adalah keterangan singkatnya
01. Seni Suara (Erkata Gendang)
Diketahui bahwa sebelum tahun 1800-an suku Karo belum mengenal seni suara secara mendalam. Namun, setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, muncullah tanda-tanda nyata seni suara tersebut. Sebagai awalnya, masih berupa vokal panjang seperti memanggil seseorang , memanggil binatang peliharaan, menghalau burung, dan lain sebaginya. Dapat dikatakan suara-suara tersebut bersahut-sahutan dan ditemukan nada tertentu. Dari suara yang bersahut-sahutan timbullah seni suara walaupun masih belum memiliki tempo dan nada yang biasa. Dan, ketika satu lagu muncul maka lagu-lagu lainnya juga akan turut mengikut. Kemudian seiring berjalannya waktu timbullah orang yang memiliki keahlian menyanyi dan menggelutinya sebagai profesi yang kerap dipanggil sebagai perende-ende. Lagu ini masih berbau sedih dan digunakan untuk mengantar suatu cerita, doa, dan syukur, serta masih sejenis baik yang dinyanyikan oleh wanita maupun pria.
02. Seni Gerak/ Tari (Landek/ Perkolong-kolong)
Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.
Tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas tugas jenis yakni:
Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal tersebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.
Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya.
Semua gerakan tarian religi gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang melakonkannya seperti kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya. Jadi jelas bahwa gerakan itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan tata cara secara umum.
Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron).
Tari yang bersifatnya hiburan mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-gundala) salah satu tari yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari Gundala-gundala tidak hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur ceria.
03. Seni Tenun (Mbayu)
Pakaian tradisional Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan Karo pakaian Karo memiliki banyak ragan dan tentu saja guna yang berbeda juga. Pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan).
Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi tiga bagian, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian sehari terdiri dari pakaian untuk pria yaitu batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang serta sarung. Sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Dan, pakaian kebesaran terdiri dari pakaian-pakaian yang lengkap serta digunakan pada saat pesta seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.
Ragam atau jenis pakaian tradisional Karo ialah sebagai berikut :
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam acara kematian.
2. Uis Julu
Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut keteng-keteng sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan untuk selimut (cabin).
3. Uis Teba
Hampir sama dengan sama dengan uis julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam, pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan.
4. Uis Batu Jala, dan pakaian-pakaian yang lain seperti Uis Kelam-kelam, Uis Beka Buluh, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, Gatib Gewang, Uis Kapal Jongkit, Gatip Cukcak, Uis Gara-Gara, Uis Perembah, Uis Jujung-Jujungen, Uis Nipes Ragi Mbacang, uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Mangiring, dan Uis Nipes Benang Iring.
04. Seni Sastra
Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan bahasa tersebut hanya pada tempat tinggal yang masyarakatnya mayoritas suku-suku Karo. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Karo tidak memerlukan susunan bahasa yang teratur sekali. Yang perlu adalah pemahaman tentang bahasa yang digunakan.
Kendatipun demikian, penggunaan bahasa Karo yang benar dan baik tetap diperlukan karena dengan cara demikian akan memberikan suatu gambaran bagi pendengar bahwa yang berbicara memiliki wibawa serta dapat dipercaya. Pemilihan dan penempatan kata-kata yang tepat pada suatu kalimat akan menciptakan suasana tersendiri, dengan kata lalin di dalamnya telah terdapat unsur yang menarik dan indah didengar. Itu telah berarti terjalinnya suatu bahasa bernilai seni sastra atau kesusastraan. Seni sastra itu sendiri dalam bahasa Karo dapat digolongkan dengan pengertian Cakap-Lumat.Seni sastra (cakap lumat)oleh masyarakat Karo digunakan dalam suasana tertentu. Untuk lebih memperindah dan untuk membuat lebih menarik, seni sastra yang digunakan terkadang harus diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun, dan gurindam.
Hasil karya sastra masyarakat Karo umumnya terlestarikan lewat mulut- ke mulut dan saat ini sudah ada beberapa hasil karya tersebut yang dibukukan. Hasil tersebut, baik dalam rupa pantun, gurindam, perbandingan (anding-anding), bintang-bintang (mirip dengan pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita berupa mitos, dan legenda. Beberapa cerita, dongeng, dan legenda yang telah jamak dikenal oleh masyarakat Karo adalah;cerita Putri Hijau, Sibayak Barusjahe, Pawang Ternalem Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, dan Si Beru Karo Basukum.
05. Seni Ukir
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang seniman mampu menyumbangkan karyanya. Karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan untuk dipercaya memiliki kemampuan pengobatan. Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya. Lukisan itu telah dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni. Paling tidak ada empat tempat karya seni ini ditempatkan, yaitu: pada bangunan tradisional Karo (rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron), pada benda-benda pecah-belah (gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian), pada pakaian adat Karo (uis kapal, uis nipes, dan baju), dan pada berbagai benda perhiaan (gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya).
Bila dilihat dari bentuk nama ukiran Karo, beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini dapat dibuktikan atas adanya bentuk dan nama ukiran tersebut. Ragam ornamen Karo relatif banyak beberapa di antaranya adalah: tupak salah silima-lima, tupak salah sipitu-pitu, desa siwaluh, panai, bindu metagah, bindu matoguh, tapak raja Sulaiman, pantil manggus, indung-indung simata, tulak paku petundal, lipan nangkih tongkeh, kite-kite perkis, tutup dadu/cimba lau, cenkili kambing, Ipen-ipen, lukisan suki, pucuk merbung bunga bincole, surat buta, pengretret, bendi-bendi (pengalo-ngalo), embun sikawiten, pucuk tenggiang, litab-litab lembu, lukisan tonggal, keret-keret ketadu, taruk-taruk, kidu-kidu, lukisan pendamaiken, bulang binara, tanduk kerbau payung, bunga gundur, raja Sulaiman, bunga lawang, tudung teger, lukisan umang, lukisan para-para (gundur mangalata), embun sikawiten II, tulak paku, lukisan kurung tendi, osar-osar, ukiren sisik kaperas, galumbang sitepuken, ukiren kaba-kaba, likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.
06. Seni Musik
Di samping hasil karya seni yang telah diterangkan di atas, seni musik juga berkembang dalam masyarakat Karo. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Karo sejak dahulu telah mengenal seni musik. Identitas masyarakat Karo juga terbukti dari berbagai jenis alat musik. Seni musik tersebut dibuat dari bahan-bahan yang dapat diperoleh dari alam sekitar.
Gendang Karo disebut dengan lima sedalinen artinya seperangkat gendang yang terdiri dari lima bagian.
Bagian itu adalah:
Gendang ini terbuat dari kayu pohon nangka dengan cara melobanginya dari pangkal sampai ke ujung dan dimainkan oleh seorang penabuh. Kemudian lubang pada kedua ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh (kancil) dan antara bingkai yang satu dan yang lainnya diikat dengan tali. Bingkai gendang tersebut berguna untuk menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya terdiri dari dua buah pemukul yang terbuat dari kayu.
Gendang anakna hampir sama dengan gendang indungnya. Hanya saja, gendang anaknya terdiri dari dua gendang besar dan kecil. Si penabuh memukulnya dengan satu pemukul untuk menabuh yang besar dan satu lagi untuk menabuh yang kecil.
3. Gung (gong)
Gong terbuat dari sejenis logam kuningan atau kangsa. Gong tersebut termasuk besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm dan dipegang oleh seorang tenaga.
4. Penganak (gong kecil)
Bentuk dan bahan penganak sama dengan gong. Hanya saja, gong (gung) lebih besar dari pada penganak. Garis tengahnya kira-kira 20 cm.
5. Sarunai
Sarunai adalah salah satu jenis alat musik tiup. Benda in terbuat dari pohon saluntam (semacam perdu) yang dilubangi dari ujung pangkal yang satu ke ujung pangkal yang lain dan diberi lobang pengatur suara.
07. Seni Bangunan (Mbangun)
Dalam suku Karo, begitu banyak seni bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain. Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi rumah adat si waluh jabu tersebut.
Berikut adalah Beberapa jenis karya seni bangunan lain dalam masyarakat Karo.
1. Geriten
Geriten adalah rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang disimpan dalam kotak-kotak khusus.
2. Jambur
Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan dan sebagainya atau duka cita.
3. Batang
Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya dengan lumbung padi.
4. Lige-lige
Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali. Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk acara tari-tarian atau acara adatnya.
5. Kalimbaban
Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.
6. Sapo gunung
Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah duka ke kuburan.
7. Lipo
Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai kandang ayam dan burung peliharaan.
8. Si Waluh Jabu
Pembahasannya Klik Di Sini
Sekian dan terima kasih. Semoga bermanfaat..
Sumber : Klik Di Sini
0 comments:
Post a Comment