Download Lagu Daerah Karo Terpopuler

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Semua lagu-lagu di blog sarudung ini untuk bahan review untuk Anda, untuk mendapatkan kualitas terbaik serta untuk mendukung hasil karya mereka Silahkan beli CD/DVD ORIGINALNYA. Semoga Terhibur

Hewan Kerbau pada Etnis Batak

with 0 Comment
Kerbau (Bubalus bubalis), jenis hewan yang termasuk famili bovidae ini sudah dikenal sejak masa prasejarah. Menarik bahwa di beberapa tempat di Indonesia, baik pada situs megalitik maupun masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitiknya menggunakan kerbau sebagai simbol maupun dalam kehidupannya, termasuk Batak.Mengingat di Sumatera Utara ornamen kerbau atau bagian tubuhnya juga digunakan oleh masyarakat Batak pada rumah-rumah adatnya.

Kemudian juga ditemukan tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau pada punden berundak di situs Batu Gaja, Simalungun. Nah, untuk memaparkan latarbelakang dan peranan hewan tersebut dalam kehidupan etnis Batak, berikut disajikan rangkuman informasi dari sebuah esai Kerbau Dalam Kehidupan Masyarakat Megalit/ Tradisinya Pada Etnis Batak di Sumatera Utara, oleh Nenggih Susilowati.

Dapat dikatakan bahwa kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu.

Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM – 1500 SM – awal Masehi. Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya kerbau.

Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu).


Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis berupa patung dan relief kerbau pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi hewan tersebut. Melihat keletakan bangunannya pada tempuran dua buah sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan bangunan suci Hindu – Buddha.

Situs tersebut merupakan situs megalitik yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh Hindu – Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke XI – XIV Masehi. Menilik kondisi situs Batu Gajah, Simalungun, yang merupakan situs megalitik maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan kerbau pada masa kini kemungkinan kebutuhannya tidak jauh berbeda, selain untuk dikonsumsi, sebagai hewan kurban, membantu mengolah lahan petanian, dan sebagai alat transportasi.

Pendirian megalit berupa punden berundak tentunya disertai dengan upacara-upacara adat, terutama upacara kematian jika dikaitkan dengan keberadaan kubur batunya. Melihat kebiasaan yang berlangsung hingga kini, kemungkinan di dalam upacara-upacara adat tersebut juga menggunakan kerbau sebagai hewan kurban.

Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitiknya seperti Toraja, Sumba, Dayak Ngaju, dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering dikorbankan pada upacara-upacara adatnya seperti upacara kematian (rambu solo’,marapu, tiwah, saur matua dan mangokal holi), atau pembangunan rumah adat.

Pada umumnya banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Kegiatan tersebut secara simbolis tergambar pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat.

Selain itu ornamen kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli.

Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat. Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur-barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin(utara-timur—selatan-barat) jika memiliki 4 ayo-ayo.

Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat. Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu.

Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan.

Pada masyarakat Batak di Sumatera Utara dikenal upacara kematian seperti saur matua, dan mangokal holi (menggali tulang) untuk memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Sebagai rangkaian kegiatan upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau.

Sebelum disembelih kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan serta diiringi dengan tarian tor-tor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara tersebut berupa jambar juhut. Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat, kerbau juga disembelih selain sebagai hewan korban juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar.

Pada pembagian-pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan, yaitu:
a. Kepala (ulu dan osang) untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli & somba-somba) untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak hasuhuton.
Adanya aturan yang memberi perlakuan khusus pada raja di masyarakat Batak tersebut juga menjelaskan tentang keberadaan tanduk kerbau yang tersimpan pada rumah adatnya. Perlakuan khusus kepada pemimpin adat berkaitan dengan pemberian bagian kepala hewan kurban khususnya kerbau, juga ditemukan pada masyarakat Toraja.

Ornamen kerbau bagi masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan (wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah.

Ornamen kerbau juga melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Sebagai perbandingan yang menggambarkan kepercayaan itu adalah digunakannya kerbau sebagai hewan kurban hingga kini, terutama pada upacara adat berkaitan dengan kematian seperti upacara saur matua, dan mangokal holi.

Bersifat profan dikaitkan dengan pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. Hal itulah yang menyebabkan pada beberapa suku tanduk kerbau yang diletakkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya.

Sebagai ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama pada rumah adat masyarakat Batak terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan lambang penjaga keselamatan dari roh jahat, dan lambang yang berkaitan dengan kepemimpinan seperti keperkasaan/keberanian.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.